Beranda | Artikel
Awal Petaka Kesesatan
Kamis, 28 Februari 2019

AWAL PETAKA KESESATAN

Oleh
Ustadz Abu Minhal Lc

Kebaikan yang murni, petunjuk yang benar-benar lurus, dan kebahagiaan hakiki tidak bisa diketahui seorang manusia melalui pandangan mata,  ketajaman akal-pikiran dan kejernihan hatinya semata. Kemampuan jarak pandang manusia sangat terbatas. Ketajaman akal-pikirannya pun dapat disanggah oleh orang-orang yang lebih pandai darinya. Dari sini, manusia memerlukan wahyu demi kebaikan kehidupannya di dunia dan akhirat.

Allâh Azza wa Jalla telah mengutus seorang insan terbaik di tengah umat manusia di akhir zaman ini. Itulah Muhammad bin Abdillah yang mengemban misi paling mulia. Beliau terpilih untuk menyampaikan wahyu dari Rabbnya yang menerangkan tentang petunjuk-petunjuk yang dibutuhkan seorang hamba untuk mengabdi kepada Rabbnya, serta petunjuk untuk kebahagiaan hidup manusia dunia dan akhirat. Selain sebagai penyampai, Beliau pun bertindak sebagai orang yang juga berkewajiban melaksanakan apa yang Beliau sampaikan kepada umatnya.

Dari sini, umat tidak hanya mendengar dan membaca petunjuk terbaik Beliau dalam segala aspek, namun juga menyaksikan pula praktek nyata dari apa yang Beliau sampaikan pada diri Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam, melalui berita-berita tentang Beliau yang disampaikan para Sahabat dengan penuh amanah. Beliau pun telah menggapai maqam ‘ubûdiyyah, sebagai hamba Allâh Azza wa Jalla yang sebenar-benarnya.

Allâh Azza wa Jalla berfirman:

وَأَنَّهُ لَمَّا قَامَ عَبْدُ اللَّهِ يَدْعُوهُ كَادُوا يَكُونُونَ عَلَيْهِ لِبَدًا

Dan sesungguhnya ketika hamba Allâh (Muhammad) berdiri menyembah-Nya (melaksanakan shalat), mereka (jin-jin) itu berdesakan mengerumuninya [Al-Jin/72:19]

Allâh Azza wa Jalla telah memuji Rasul Muhammad sebagai teladan yang baik. Allâh Azza wa Jalla berfirman:

لَقَدْ كَانَ لَكُمْ فِي رَسُولِ اللَّهِ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ لِمَنْ كَانَ يَرْجُو اللَّهَ وَالْيَوْمَ الْآخِرَ وَذَكَرَ اللَّهَ كَثِيرًا

Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasûlullâh itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allâh dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allâh. [Al-Ahzab/33:21].

Tentang ayat di atas, Imam Ibnu Katsîr rahimahullah berkata, “Ayat ini merupakan kaedah besar tentang (keharusan) mengikuti Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam segala ucapan, perbuatan dan keadaannya”.

Maka, kebutuhan manusia sangatlah mendesak untuk mengenal sang rasul dan risalah yang Beliau bawa, membenarkan berita-berita yang Beliau sampaikan dan menaati apa yang Beliau perintahkan. Sebab tidak ada jalan menuju kebahagiaan dan keberuntungan di dunia dan akhirat kecuali melalui tangan para rasul. Tidak ada jalan untuk mengetahui dan membedakan mana yang baik dan mana yang buruk secara terperinci kecuali melalui arah mereka. Dan tidak mungkin digapai ridha Allâh kecuali melalui petunjuk mereka pula.

Para rasul merupakan timbangan yang standar untuk menilai ucapan-ucapan dan perbuatan-perbuatan dan akhlak manusia. Dan dengan mengikuti rasul, akan tampak jelas siapa yang mendapatkan hidayah dan siapa yang sesat.

Maka, kebutuhan untuk mengetahui petunjuk rasul melebihi kebutuhan tubuh manusia kepada makanan, kebutuhan mata terhadap cahaya, kebutuhan ruh terhadap kehidupannya. Manusia yang jauh dari petunjuk Nabi sekejap saja, hatinya akan rusak dan ia akan seperti ikan yang terpisah dari api dan diletakkan pada penggorengan.

Imam Ibnul Qayyim rahimahullah mengatakan, “Apabila kebahagiaan seorang hamba di dunia dan akhirat terkait dengan petunjuk Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam , maka setiap Muslim bijak terhadap dirinya dan menginginkan keselamatan diri dan kebahagiaannya, sudah sewajibnya mengetahui petunjuk Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam , sejarah kehidupan dan perhatian-perhatian Beliau yang mengentaskannya dari klasifikasi orang-orang jahil, dan kemudian masuk dalam hitungan para pengikut Beliau kelompok dan golongan Beliau. Manusia dalam perkara ini ada yang mustaktsir (mengetahuinya dengan banyak), mustaqill (sedikit pengetahuannya tentang itu) dan mahrum (terhalangi jauh dari mengetahui petunjuk Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam ). Karunia ini ada di tangan Allâh. Allâh Azza wa Jalla berikan kepada yang Dia kehendaki. Dan Dialah Dzat Yang memiliki karunia yang agung”.[1]

Allâh Azza wa Jalla telah memerintahkan umat Islam untuk menaati Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam  dan mengaitkan hidayah dengan ketaatan kepada Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Allâh Azza wa Jalla berfirman:

قُلْ أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ ۖ فَإِنْ تَوَلَّوْا فَإِنَّمَا عَلَيْهِ مَا حُمِّلَ وَعَلَيْكُمْ مَا حُمِّلْتُمْ ۖ وَإِنْ تُطِيعُوهُ تَهْتَدُوا ۚ وَمَا عَلَى الرَّسُولِ إِلَّا الْبَلَاغُ الْمُبِينُ

Katakanlah, “Taat kepada Allâh dan taatlah kepada rasul; dan jika kamu berpaling maka sesungguhnya kewajiban rasul itu adalah apa yang dibebankan kepadanya, dan kewajiban kamu sekalian adalah semata-mata apa yang dibebankan kepadamu. Dan jika kamu taat kepadanya, niscaya kamu mendapat petunjuk. Dan tidak lain kewajiban rasul itu melainkan menyampaikan (amanat Allâh) dengan terang.”  [an-Nûr/24:54]

Syaikh as-Sa’di rahimahullah mengatakan: ‘Dan jika kamu taat kepadanya, niscaya kamu mendapat petunjuk’ maksudnya menuju jalan yang lurus dalam ucapan dan  amalan. Maka, tidak ada jalan menuju hidayah kecuali dengan taat kepada-Nya. Dan tanpa itu, tidak mungkin (akan terakhir hidayah), bahkan itu suatu hal yang mustahil”. [2]

Maka, mempelajari dan menelaah petunjuk-petunjuk Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan penuh semangat merupakan pilihan seorang Muslim yang cerdas yang mengharapkan kebaikan, hidayah dan keselamatan bagi dirinya di dunia dan akhirat. Dengan itu, seseorang akan berada di atas ilmu yang benar dan pengetahuan yang shahih dalam pengamalan agamanya dan perbuatan sehari-harinya.

Dan sebaliknya, keengganan untuk mempelajari petunjuk-petunjuk Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam , kurang semangat untuk menelaahnya dan tidak terdorong untuk mencari tahu tentang itu menjadi awal petaka seseorang terjatuh dalam kubangan kesesatan.

Orang model ini ketika akan melakukan sesuatu terkait agamanya, tidak berpikir terlebih dahulu apa petunjuk Nabi dalam masalah ini dan itu. Ia pun tidak mau mencari tahu tentang itu. Ia pun memutar otaknya untuk mendapatkan sesuatu ‘petunjuk’ dari akalnya dan akhirnya berjalan di atas kesimpulan ra`yunya itu. Dan ketika diingatkan bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak melakukannya, ia akan menimpali jawaban itu dengan berkata, “Apakah ada larangan bagi saya untuk melakukannya?”.

Jawaban seperti ini hanya akan mengerdilkan dan mengecilkan peran besar dan penting seorang rasul diutus di tengah manusia. Bila setiap orang boleh melakukan apa saja dalam agama ini dengan dalih itu baik dan tidak ada larangan, maka eksistensi seorang rasul dan petunjuk-petunjuk yang diajarkannya seolah-oleh tidak ada nilai urgensinya. Dan orang yang bersangkutan akan semakin jauh dari petunjuk Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam tanpa sadar. Ia pun terjerumus dalam kesesatan dan bid’ah dan meyakini sedang berada dalam kebaikan.

Imam Ibnu Abil Izzi rahimahullah menyimpulkan, “Dan sepatutnya diketahui bahwa kebanyakan orang sesat dalam perkara ini atau kelemahannya untuk mengetahui kebenaran karena  sikap tafrîth  (kekurangperhatian)nya dalam mengikuti risalah yang dibawa oleh Rasul n , tidak merenungi dan tidak berdalil dengan dalil yang mengantarkannya untuk mengenal kebenaran. Maka, ketika mereka berpaling dari kitabullah, mereka tersesat. Sebagaimana Allâh Azza wa Jalla berfirman:

قَالَ اهْبِطَا مِنْهَا جَمِيعًا ۖ بَعْضُكُمْ لِبَعْضٍ عَدُوٌّ ۖ فَإِمَّا يَأْتِيَنَّكُمْ مِنِّي هُدًى فَمَنِ اتَّبَعَ هُدَايَ فَلَا يَضِلُّ وَلَا يَشْقَى ﴿١٢٣﴾ وَمَنْ أَعْرَضَ عَنْ ذِكْرِي فَإِنَّ لَهُ مَعِيشَةً ضَنْكًا وَنَحْشُرُهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ أَعْمَىٰ ﴿١٢٤﴾ قَالَ رَبِّ لِمَ حَشَرْتَنِي أَعْمَىٰ وَقَدْ كُنْتُ بَصِيرًا﴿١٢٥﴾ قَالَ كَذَٰلِكَ أَتَتْكَ آيَاتُنَا فَنَسِيتَهَا ۖ وَكَذَٰلِكَ الْيَوْمَ تُنْسَى

Dan jika datang kepadamu petunjuk dari-Ku, maka (ketahuilah) barang siapa mengikuti petunjuk-Ku, dia tidak akan sesat dan tidak akan celaka. Dan barang siapa berpaling dari peringatan-Ku, maka sungguh, dia akan menjalani kehidupan yang sempit, dan Kami akan mengumpulkannya pada Hari Kiamat dalam keadaan buta. Dia berkata, “Wahai Rabbku, mengapa Engkau kumpulkan aku dalam keadaan buta, padahal dahulu aku dapat melihat?”. Dia (Allah) berfirman: Demikianlah, dahulu telah datang kepadamu ayat-ayat Kami dan kamu mengabaikannya. Jadi, begitu (pula) pada hari ini, kamu diabaikan”. [Thaha/20:123-126[”.

Kemudian Imam Ibnu Abil Izzi rahimahullah mengutip keterangan Ibnu Abbas, “Allâh Azza wa Jalla menjamin bagi orang yang membaca al-Qur`an dan mengamalkan kandungannya untuk tidak sesat di dunia dan tidak celaka di akhirat”. [3]

Imam Ahmad rahimahulah berkata, “Sesungguhnya muncul penentangan orang yang menentang, dikarenakan kedangkalan ilmu mereka terhadap ajaran yang dibawa oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam”. [4]

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah  mengatakan: “Dan tidaklah kamu mendapati seseorang yang terjerumus dalam bid’ah kecuali karena ia kurang mengikuti petunjuk Sunnah dalam aspek pengetahuan dan pengamalannya. Sebab, orang yang mengetahui petunjuk Sunnah, dan mengikutinya, maka tidaklah ada pada dirinya pemicu kepada bid’ah.  Sesungguhnya hanya orang-orang bodoh terhadap petunjuk Sunnah saja yang terjerumus di dalam bid’ah”. [5]

Dengan demikian, sudah sewajibnya setiap Muslim dan Muslimah mempelajari agamanya, agar dapat mengenal kebenaran yang datang dari Allâh Azza wa Jalla dan Rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan baik dan kemudian mengamalkannya. Wallahul muwaffiq.

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 08/Tahun XXI/1439H/2017M.  Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196. Kontak Pemasaran 085290093792, 08121533647, 081575792961, Redaksi 08122589079]
_______
Footnote
[1]  Zâdul Ma’âd fi Hadyi Khairil Ibâd 1/69.
[2]  Taisirul Karimir Rahman hlm.521
[3]  Syarh al-Aqidati ath-Thahawiyyah hlm. 71
[4]  I’lamul Muwaqqi’in 1/44.
[5]  Syarhu Hadits ‘Lâ Yazni az-Zani’ hlm.35.


Artikel asli: https://almanhaj.or.id/11265-awal-petaka-kesesatan.html